Sismanto HS*)
Dua puluh tujuh tahun yang lalu saya mengalami masa yang dialami oleh semua anak laki-laki seusia saya, masa yang disebut dengan sunat (khitan). Bagi siapapun laki-laki dalam keluarga maupun di kampung nelayan saya, maka akan mengalami hal yang sama seperti apa yang pernah saya alami. Antara berani dan tidak, antara malu dan tidak malu ketika belum disunat, sunat inilah merupakan masa dimana seorangbanak laki-lagi keberaniannya diuji.
Sunat merupakan suatu momok yang sangat menakutkan bagi seorang anak laki-laki, berbeda dengan seorang ibu yang melahirkan meskipun saya banyak mendengar kabar berita dari ibu-ibu yang melahirkan rasanya sakit, dan kapok tidak berani mengulangi melahirkan lagi. Namun ibu-ibu yang sudah pernah mengutarakan hal itu, tetap saja mereka mempunyai anak lagi dan bahkan ada ibu-ibu yang melahirkan sampai berkali-kali. Artinya tingkat “kesakitan” seseorang yang melahirkan belum sebegitu besar bila dibandingkan dengan sunat. Bagi saya, sunat merupakan sebuah tradisi yang harus dijalani oleh seorang anak laki-laki, mau tidak mau, berani tidak berani seorang anak laki-laki akan sunat juga. Seorang anak laki-laki belum dikatakan berani atau ksatria bila belum berani sunat.
Biasanya keluarga yang punya anak pertama laki-laki, ketika anak laki-lakinya akan disunat, maka orang tuanya akan mengadakan tasyakuran bahkan ada yang diadakan resepsi dengan mengundang tetangga, saudara, dan handai tolan. Tradisi dan kebiasaan di kampung nelayan, resepsi sunat anak laki-laki merupakan kebanggaan dan juga sebagai ajang bisa melaksanakan resepsi mengingat ketika menikah nanti, resepsi pernikahan akan diadakan di rumah mempelai perempuan. Disamping akan adanya resepsi, maka jauh-jauh hari orang tua yang akanmelaksanakan resepsi akan meminta bantuan kepada tetangga atau saudaranya untuk “sambatan”.
Sambatan merupakan kebiasaan bila ada tetanga yang punya gawe di kampung nelayan, tradisi sambatan inilah yang bisa membantu meringankan biaya dalam melaksanakan resepsi sunat ataupun pernikahan. Bagi orang yang mampu, tradisi sambatan bagi mereka dirasa agak canggung, mereka akan mengadakan resepsi tanpa sambatan terlebih dahulu. Bagi orang yang kurang mampu, tradisi sambatan menjadi berkah dan bisa mengurangi biaya operasional resepsi, maka mereka akan memberlakukan sambatan. Padahal bagi orang mampu pun di kampung nelayan saya, sebenarnya sambatan menjadi hal yang biasa dan lumrah, karena tradisi ini sudah kuat dan mengakar, akhirnya mereka pun memberlakukan sambatan.
Sambatan merupakan bentuk kerjasama dan tolong menolong yang ada di kampung nelayan saya. Orang yang dimintai sambatan adalah orang-orang yang memiliki perahu nelayan, bila tidak mempunyai perahu tenaganya yang dipakai untuk sambatan. Bagi yang memiliki perahu nelayan, maka hasil tangkapan ikan tersebut diberikan kepada orang yang akan melaksanakan resepsi, bagi yang tidak memiliki perahu maka dia akan ikut orang yang memiliki perahu yang juga dimintai sambatan, secara berdua di dalam perahu yang sama, dan hasilnya mereka berdua diberikan kepada orang yang meminta sambatan.
Mekanisme pelaksanaan sambatan yang biasa dilakukan di kampung nelayan saya, malam harinya orang yang meminta sambatan akan mengirimkan bekal, “ganalan”, bahkan ada yang diselipkan rokok kepada orang yang dimintai sambatan, bekal ini digunakan oleh nelayan yang akan pergi ke laut mencari ikan. Pada siang harinya, hasil tangkapan ikan dari hasil melaut akan dibawa dan diberikan kepada orang yang meminta sambatan, biasanya orang-orang yang dimintai sambatan secara bersama-sama akan berkumpul di rumah orang yang meminta sambatan untuk makan siang bersama.
Sebuah tradisi tolong menolong dan kerjasama yang perlu dilestarikan, dibudayakan, dan ditularkan kepada anak-anak generasi masa sekarang, disaat anak-anak sudah mulai luntur dan berkurang sifat dan sikap tolong menolong dan kerjasama antar sesamanya. Bila sikap dan makna tolong menolong yang ada pada sambatan ini ditularkan kepada anak-anak masa generasi sekarang ini, maka ke depannya akan dirasakan bagaimana indahnya kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dengan rasa saling tolong menolong dan bahu membahu, membantu saudara, tetangga, handai tolan yang membutuhkan pertolongan dan bantuan.
Penulis adalah wakil sekretaris PC Nahdlatul Ulama Kutai Timur
0 comments