Mengawasi Kecurangan Ujian Nasional

Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) untuk SMA dan sederajat dilaksanakan serentak pada tanggal 22-24 April, dan SD maupun MI sederajat yang digelar 13-15 Mei 2008. Ujian yang diselenggarakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan melibatkan pengawas independen ini semakin dengan materi bahasa Indonesia, Matematika, bahasa Inggris untuk SMP. SMA dengan jurusan IPA meliputi bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Matematika, untuk jurusan IPS meliputi; bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Ekonomi, dan jurusan bahasa materi bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa lainnya. Sementara untuk SD mata pelajaran yang di UN kan meliputi Bahasa Indonesia, IPA, dan Matematika.
Tentunya, semakin menambah was-was orang tua yang kebetulan anaknya yang akan mengikuti pelaksanaannya. Pun demikian dengan guru yang mengampu mata pelajaran yang diUN-kan. Standar minimal kelulusan tergolong tinggi yakni 5,00, hal ini sesuai dengan kebijakan sekolah masing-masing. Jika dibandingkan dengan tahun 2003 minimal 3.01, tahun 2004 minimal 3.01 Rata-rata 4.01, dan tahun 2005 minimal 4.01 Rata-rata 4.25. tingginya standar minimal kelulusan hendaknya tidak dipahami sebagai ketakutan yang berlebihan menurut catatan Disdik Kota Balikpapan (Kaltimpos, 15 April 2008) tentang peringkat tes daya serap SD tingkat propinsi. Matematika menjadi mata pelajaran dengan nilai rata-rata terendah yang di try-out kan, yaitu 4,79 dengan nilai tertinggi 9,5 dan terendah 0,75. Nilai ini mengalami peningkatan dari try out sebelumnya. Sebuah prestasi yang perlu diapresiasi.
Data Disdik Kaltim (Kaltimpos, 17/4 2008), jumlah peserta UN dan USBN propinsi Kalimantan Timur untuk SD/MI sejumlah 59.345, SMK sejumlah 12.583, SMP/MTs sejumlah 45.793. Sementara jumlah peserta untuk tingkat SMA/MA untuk jurusan bahasa 304 peserta, jurusan IPA 8.100 peserta, jurusan IPS 12.817 peserta, dan total peserta SMA/MA adalah 21.221 peserta. Secara keseluruhan peserta UN Kalimantan timur tahun 2007/2008 sejumlah 138.942 peserta.
Bentuk ujian Nasional sampai saat ini masih dilaksanakan, sekalipun dengan menggunakan nama yang berbeda tetapi pada hakikatnya adalah bentuk evaluasi tahap akhir. Ujian nasional yang sekarang masih terus diterapkan sudah berganti nama beberapa kali, ini mungkin ada kaitannya dengan prokontra pelaksanaanya. Beberapa pakar pendidikan menganggap UN (dulu EBTANAS dan UNAS) sudah selayaknya dibapus karena kemampuan siswa tidak bisa hanya diukur dengan UN saja. Atau mungkin melecehkan guru yang seharusnya Iebih tahu kemampuan siswanya dan lebih berhak memberi kelulusan pada siswanya.
Permasalahannya sekarang adalah tidak adanya alat ukur yang berstandar nasional untuk dipakai sebagai acuan penilaian siswa kalau ujian nasional itu dihapuskan. Pada hal kita tahu bahwa negara kita adalah negara kepulauan dan termasuk negara yang sangat luas wilayahnya. Belum lagi kalau siswa tersebut harus meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi di luar negeri. Jadi UN memang masih merupakan suatu kebutuhan yang perlu ada untuk mengukur kemampuan/kompetensi dasar siswa.
Beberapa wacana pro dan kontra ujian nasional pun mengemuka lantaran digunakannya ujian nasional sebagai acuan dasar untuk meneruskan sekolah kejenjang lebih tinggi (SMA). Hal ini sesuai dengan PP No. 19 Tahun 2005 (pasal 68), Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: (1) pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, (2) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, (3) penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan, dan (4) pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Kajian terhadap fungsi UN ini secara menarik dikaji Sri Wening (2004) dalam Konvensi Nasional Pendidikan V di Surabaya. Setidaknya ada tiga fungsi, yakni: (1) diharapkan bahwa dengan diadakannya UN maka mutu pendidikan secara Nasional dapat dikendalikan. adanya UN maka mutu setiap sekolah akan diketahui kemudian diberi perlakuan. Hal yang perlu diingat adalah, jangan sampai hasil UN ini hanya digunakan untuk mengelompokkan sekolah yang mutu dan sekolah yang tidak mutu semata. Apabila hal ini terjadi maka sekolah yang termasuk kelompok rendah akan semakin rendah.
Fungsi yang kedua, UN adalah sebagai pendorong peningkatan mutu pendidikan. diharapkan dengan mengikuti UN lambat laun kualitas sekolah itu akan meningkat. Hal inipun harus dilakukan dengan dengan hati-hati, karena apabila sekolah itu merasa tertekan untuk meningkatkan kualitasnya (berkompetisi dengan tekanan) maka yang terjadi justru sebaliknya, hasil belajar siswa justru menurun.
Fungsi ketiga, UN adalah sebagai bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan siswa baru pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini merupakan suatu kemajuan bila dibandingkan dengan Ebtanas yang berfungsi sebagai alat seleksi siswa masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini dapat dimengerti karena tes dalam Ebtanas dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana siswa menguasai materi yang telah diajarkan sedangkan tes dalam seleksi dimaksudkan untuk mengetahui potensi calon siswa untuk mengikuti pelajaran di sekolah yang dipilihnya.
Namun demikian, beberapa pakar menyatakan bahwa hasil UN tidak mutlak mengukur kemampuan kompetensi yang dimiliki siswa. Juga ada wacana yang lain yaitu pelaksanaan ujian ahir nasional yang ada di SMP dilaksanakan pada kelas II sehingga kemampuan siswa dapat diperbaiki (remidi) yang nantinya siswa diharapkan dapat mengausai standart kelulusan atau kompentensi yang diharapkan setelah lulus dari SMP. Belum lagi dalam pelaksanaanya ternyata ujian ahir nasional sering menimbulkan masalah, seperti kecurangan disana sini, konversi nilai dan lain-lain yang ahirnya menambah pelik pro dan kontra pelaksanaan ujian naional itu sendiri.
Alasan lain mengenai desakan yang kuat agar ujian nasional dihapuskan, juga disebakan fungsi ujian nasional UN tidak dapat dijadikan patokan sebagai sarana pengukuran keberhasilan pembelajaran. Pada akhirnya masarakat tidak terpaku pada shohihnya nilai UAN karena menyadari bahwa nilai ujian nasional ini mudah dimanipulasi. Disinilah sumber utama kenapa ujian nasional (UN) menjadi ajang pergunjingan nasional. Padahal Pelaksanaan ujian Nasional mempunyai tujuan pedogogis yang baik karena dapat dijadikan iustrumen standar minimal mutu pendidikan atau instrumen pengawasan bagi sekolah. Jadi walaupun terjadi kontroversial tetapi UAN memang masih diperlukan (Malik Fajar, 2003) mengingat belum adanya alat ukur nasional yang sesuai untuk kondisi negara kita itu.
Untuk itulah beberapa hal yang perlu dioptimalkan untuk mengurangi praktik kecurangan UN demi kebergunaan dan kemanfaatan ujian nasional. Adanya praktik kecurangan UN di pelbagai daerah, misalnya Kecurangan UN hampir semua daerah seperti Medan, Riau, Lampung, Cilegon, Garut, Depok, Bandung, Bojonegoro, Purwokerto, Semarang, Blitar, Bojonegoro, Madiun, Makassar dan lain-lain. Hal ini telah berlangsung sejak tahun 2004, atau lebih awal lagi. Semantara pada tahun 2005 semakin menjadi-jadi (Medan, Bekasi, Bojonegoro, dan lain-lain), tetapi tidak ada tindakan sampai sekarang.
Kondisi yang berlarut-larut ini dikarenakan hanya sedikit terekspos oleh media massa. Kalaupun terekspos hanya apabila ada pengawas independen atau pengawas silang (dari sekolah lain) yang berani angkat bicara; pengawas independen ditunjuk kepala dinas; pengawas luar sekolah telah diintimidasi. Kenyataan pahit lainnya adalah curang secara berjamaah, misalnya; sekolah-sekolah pinggiran pun lulus 100% dan lebih bagus daripada sekolah nunggulan. Nilai 10 bertaburan, di atas nilai harian, siswa pun heran dengan hasil yang ia peroleh.
Modus operandi yang dilakukan biasanya ketika ujian belum dilaksanakan soal sudah dibocorkan, oleh siapa ini yang kemudian menjadi pertanyaan? Demikian pula dengan kuci jawaban sudah tersedia sebelum ujian. Berikutnya, saat ujian peserta didik dibiarkan mencontek dan bekerjasama, lembar ujian dipesan lebih banyak dari jumlah peserta didik. Endingnya; guru mengerjakan soal di saat ujian, dibagikan ke siswa di luar kelas, dibagikan lewat sms, maupun dibagikan di dalam kelas, oleh guru atau tim sukses luar sekolah. Dan terakhir, setelah ujian peserta didik tidak boleh menjawab semua jawaban, lembar jawaban tidak disegel, dan guru/tim sukses menghapus/memperbaiki jawaban.
Sementara beberapa penyebab terjadinya kecurangan pada ujian nasional ini misalnya UN terasa berat, ketimpangan kualitas antara sekolah unggul sekolah pinggiran, menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), adanya tekanan dari orang tua murid, kepala sekolah, kepala dinas, dan seterusnya, sertifikasi bagi sekolah lulus 100% menjadi Sekolah Standar Nasional (SSN) maupun iming-iming menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SNBI), dan subsidi tambahan bernilai ratusan juta rupiah.
Untuk itulah pelaksanaan UN perlu diawasi secara maksimal agar tidak terjadi kecurangan, hal ini dapat terlaksana berkat kesigapan panitia penyelenggara, kerjasama antar sekolah dan masyarakat, tentu juga aparat yang berwenang. Namun yang lebih penting dari pelaksanaan UN ini adalah adanya fair play untuk melatih peserta didik kita menjadi generasi yang bertanggung jawab. “Katakan yang benar itu benar walaupun pahit rasanya”.

Sengata, 22 April 2008

0 comments