Pendidikan Politik Nahdlatul Ulama’

M Rikza Chamami*)
Sudah menjadi kelaziman, ketika digelar Pilkades, Pilkada, Pileg hingga Pilpres, suasana batin warga bangsa menjadi memanas. Kenapa? Tak lain karena terjadi “perbedaan pilihan” yang dijustifikasi dengan kebenaran agama. Memilih figur pemimpin itu hanya soal erat kaitannya kecocokan hati. Si A cocok dengan si B karena memang cocok dan terbujuk rayuan kampanye. Salah satu kecocokan itu dapat dipengaruhi oleh agama, organisasi agama dan ideologi agama.

Namun, argumentasi kecocokan berbungkus agama itu terkadang sudah kelewat batas menjadi kebenaran agama hingga kebenaran Tuhan. Pada titik inilah puncak gesekan psikologis-ideologis itu muncul. Seakan ketika tidak sama pilihannya—yang lain menjadi salah, dosa hingga klaim akan masuk neraka. Itulah hajat politik yang nyata terjadi di tengah masyarakat.

Bagaimana Nahdlatul Ulama memberikan gambaran tentang pendidikan politik? Apakah sama dengan kaidah-kaidah yang lazim seperti itu? Atau NU memiliki cara lain dalam mendidik warga nahdliyyin dalam berpolitik?

Berdirinya NU pada tahun 1926 merupakan tonggak sejarah pendidikan politik. Dimana para ulama ingin memberikan pelajaran kepada dunia, bahwa ideologi ahlussunnah wal jama’ah harus diperjuangkan. NU bukan hanya merespon persoalan kecil yang hanya bersifat kenusantaraan saja, tapi NU hadir merespon problem dunia jagat raya.

Dari situ dapat diambil hikmah bahwa pendidikan politik NU dibuat berlapis-lapis dalam rangka menjaga marwah nasional dan internasional. Di sisi lain, dalam konteks keberperanan, pendidikan politik NU berjuang untuk menyelamatkan: Islam, sunnah dan persatuan. Maka NU mengenalkan dirinya sebagai organisasi Islam ahlussunnah wal jama’ah annahdliyyah.

Saya mencoba belajar pendidikan politik NU merujuk pada Al-Qanun Al-Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Teks ini sangat menarik untuk dijadikan referensi pendidikan politik dan kajian-kajian kebangsaan. Saat pertama saya membaca naskah ini sejak masih sekolah di Kudus, sudah penasaran. Apalagi membaca terjemahannya KH Ahmad Mushtofa Bisri, isi teks ini menjadi lebih indah dan bermakna.

Di saat semua orang mulai mencari kesana-kemari sumber rujukan ber-NU, nampaknya dari Al-Qanun Al-Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama inilah kita mencari nasehat, termasuk pendidikan politik. Karena di dalamnya terkandung banyak nasehat yang dapat diinterpretasikan dalam rangka menjaga kewibawaan NU sesuai dasar tujuan para pendirinya.

Isi dari Al-Qanun Al-Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama terdiri dari muqaddimah berupa 36 ayat Al-Qur’an, isinya berupa nasehat-nasehat ulama dengan merujuk 5 hadits, petuah Sayyida Ali Karramallahu Wajhah dan Sayyidina Umar bin Khattab, 4 maqalah berupa syi’ir Arab, dan penutup yang merujuk 6 ayat Al-Qur’an. Jadi jumlah ayat Al-Qur’an yang dipakai ada 42 ayat.

Apa hubungannya Al-Qanun Al-Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama dengan pendidikan politik? Semula saya merasa berat menarik-narik teks suci ini dalam ranah kajian pendidikan politik, tetapi menjadi berani karena rujukan inilah yang penting untuk selalu dikaji dan dimanfaatkan sepanjang zaman.

Ada empat kata kunci yang digunakan dalam Al-Qanun Al-Asasi ini: ijtima (pertemuan), ta’aruf (saling mengenal), ittihad (persatuan), ta’alluf (kekompakan). Pesan-pesan indah dalam pondasi NU tidak akan lepas dari itu semua. Oleh sebab itu, pendidikan politik NU merupakan strategi organisasi keagamaan dalam mengawal komunikasi untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan dzahir batin.

Upaya untuk menyatukan kata hati dan tindakan itu menjadi penting. Maka pelajaran dari para ulama itu yang perlu ditekankan. Indonesia yang besar ini tidak akan kokoh berdiri tanpa pertemuan, saling mengenal, persatuan dan kekompakan. Siapa yang bisa mengawal Indonesia? Ya NU. Itulah dimensi awal yang harus dipahami.

Dari 42 ayat yang ada dalam Al-Qanun Al-Asasi itu juga memberikan gambaran betapa pentingnya menjaga agama dengan visi Al-Qur’an dan semangat dakwah dengan cara hikmah dan ramah. Sebab dengan hikmah, maka ia benar-benar mendapat keberuntungan yang melimpah (QS Al Baqarah: 269).

Salah satu pesan penting Rasulullah yang ada dalam Al-Qanun Al-Asasi berisi: “Tangan Allah bersama para jama’ah. Apabila diantara jama’ah ada yang mengucilkan sendiri, maka setanpun akan menerkamnya seperti halnya serigala menerkam kambing”. Sayyidina Ali juga menegaskan bahwa dengan perpecahan tidak akan ada kebaikan yang dikaruniakan Allah. Demikian juga Sayyina Umar bin Khattab meminta kita untuk konsisten mengawal Al-Qur’an, jangan jadi orang munafiq.

Jika meminjam istilah KH MA Sahal Mahfudh, NU mengenal tiga ragam politik: politik kenegaraan (kebangsaan), politik kerakyatan dan politik kekuasaan. Sedangkan KH Abdul Wahab Chasbullah mengenalkan ragam politik NU: politik perdagangan, politik pertukangan/industri, politik pertanian dan politik hukum-pemerintahan.

Ruh pendidikan politik bagi warga NU adalah mendidik kuat berjam’iyyah dan berjama’ah. Mengajak untuk mau bergabung dalam organisasi itu penting, mau ngurusi (mengatur) dan ngrumati (menjaga). Semangat berorganisasi itulah awal dari penanaman pendidikan politik. Ketika itu sudah mapan, maka semangat berjama’ah (bersatu dengan dasar komando).

Itulah cerminan dari ajakan para ulama dalam Al-Qanun Al-Asasi yang berbunyi: “Marilah anda semua dan segenap pengikut anda dari golongan fakir miskin, hartawan, rakyat jelata dan orang-orang kuat. Berbondong-bondonglah masuk jam’iyyah yang diberi nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama ini. Masuklah dengan penuh kecintaan, kasih sayang, rukun, bersatu dan dengan ikatan jiwa raga”.

Pesan Al-Qanun Al-Asasi dalam ber-NU itu sungguh mulia, jangan sampai dilupakan. Jadi dimensi dan ruh pendidikan politik NU sangatlah beragam. NU bisa berjuang dengan politik kebangsaan, politik kerakyatan dan politik kekuasaan. Semua perjuangan itu harus dihargai oleh semua pihak. Termasuk perjuangan politik dalam bidang perdagangan, industri, pertanian dan hukum-pemerintahan. NU akan besar jika semua potensi-potensi itu disatukan. Berpolitiklah dengan dasar NU: penuh cinta kasih dan satu jiwa raga.*)

*) Dosen UIN Walisongo & Sekretaris Lakpesdam NU Kota Semarang

0 comments