Ngangsu

 

Sismanto HS*)
Bila musim kemarau, kegiatan yang saya lakukan ketika usia sekolah dasar adalah “ngangsu”, suatu kegiatan mengambil air dengan membawa jerigen dari sumber mata air yang ada di kxampung saya. Satu-satunya sumber mata air yang ada di kampung kelahiran saya adalah “jomblang” atau sendang, sementara sungai yang ada di tempat saya rata-rata airnya asin, kalaupun tawar itupun ketika terjadi banjir.

Jarak yang harus saya tempuh untuk menuju “jomblang” berjarak sekitar satu kilo meter, saya ambil jerigen, saya taruh jerigen di bagian kanan dan kiri boncengan sepeda pancal. Pada usia sekolah dasar, sebenarnya saya tidak kuat mengangkat jerigen itu bila sudah terisi air, namun berdasarkan pengalaman dari teman-teman sebaya dan juga teman senior yang sudah terbiasa ngangsu. Caranya sepeda pancal dimiringkan, kemudian tali yang ada di jerigen itu dicantolkan pada palangan sepeda yang sudah terpasang sebelumnya.

Kesulitan mendapatkan air bersih di kampung saya semakin parah apabila satu-satunya jomblang yang ada di kampung saya airnya habis, maka saya akan mencari sumber mata air di kampung sebelah yang jaraknya mencapai lima kilometer, dan bahkan ada juga sumber mata air di kampung tetangga yang jaraknya mencapai sepuluh kilometer dari kampung saya. Namun semua itu tetap saya jalani meskipun payah dan butuh kesabaran.

Apabila air pada sumber mata air jomblang telah habis, sumber mata air di kampung tetangga juga habis, maka yang dilakukan oleh penduduk kampung saya hanyalah menunggu datangnya musim hujan atau secara rombongan membeli air tangki. Untuk membeli dan mendatangkan tangki air dibutuhkan biaya yang cukup mahal, maka yang paling memungkinkan adalah menunggu datangnya hujan.

Bila musim hujan datang, maka saya akan menyiapkan ember, jerigen, dan “blung”, di sebuah wadah yang biasa dibawa nelayan untuk pergi ke laut. Sambil duduk di bawah talang rumah, grojogan demi grojogan air itu saya tampung dan saya pindahkan ke bak penampungan air yang lebih besar pada juga tetangga yang membuat bak penampungan air dengan ukuran yang besar, dengan lebar 5 kali 6 meter dan dengan ketinggian 2 sampai 3 meter. Bak penampungan air inilah yang dijadikan bekal orang-orang di kampung saya untuk menghadapi musim kemarau.

Sejak kecil saya dibiasakan orang tua untuk berhemat air, mengingat sulitnya mendapatkan air bersih yang ada di kampung saya, bahkan untuk mandi saja orang tua membiasakan kepada anak-anaknya untuk cukup dengan tiga sampai lima gayung harus bersih. Dua gayung untuk membasahi badan, kemudian pakai sabun, dan gayung terakhir untuk membersihkan sabun yang menempel di badan. Alhamdulillah, tahun 2010 PDAM masuk kampung saya yang disambut suka cita dan kemenangan oleh penduduk kampung, namun sukacita itu tidak bertahan lama mengingat PDAM yang seharusnya bisa menjadi pemecah kebuntuan air bersih yang ada di kampung saya, ternyata PDAM kurang berjalan dengan lancar lantaran kampung saya merupakan kampung keluar dari ibukota kabupaten.

Saya bersyukur pernah kecil di kampung kelahiran, kampung Cangaan – Batangan, Pati, sebuah kampung nelayan yang sangat tenang, damai, dan baik untuk tumbuh kembang bagi seorang anak. Saya bersyukur bahwa semasa kecil saya pernah merasakan bagaimana sulitnya mendapatkan air bersih, saya pernah merasakan bagaimana untuk mendapat air bersih saja saya harus ngangsu terlebih dahulu, dan kegiatan inilah yang menjadikan spirit bagi saya untuk terus “ngangsu” di sekolah kehidupan sebagai pembelajaran.

Sampai sekarang saya tetap “ngangsu”, namun dalam konteks ngangsu yang sesungguhnya. Ngangsu yang saya lakukan adalah dengan ngansu ilmu, ngangsu kaweruh, dan ngangsu kahanan. Ngangsu ilmu, orang yang ngangsu air tentunya menggunakan wadah jerigen sebagaimana yang saya lakukan semasa kecil. Sebagai contoh cerita rakyat yang berkembang dari tahun ke tahun di kampung saya, Saridin yang terkenal dengan Syekh Jangkung semasa Ngangsu ilmu di tempat Sunan Kudus pernah diminta untuk mengangsu air untuk memenuhi bak-bak yang ada di pesantren untuk dijadikan “padasan” dan tempat wudhu. Namun Syeikh jangkung menggunakan keranjang untuk menembak ayah dijadikan sebagai wadah nya untuk memenuhi back back pantasan tempat air wudhu. Secara nalar tidak mungkin syeikh Jangkung bisa melakukannya, mengingat keranjang yang dipakai tentu akan bocor airnya. Syekh Jangkung bisa melakukannya.

Bagi saya, ternyata orang ngangsu ilmu itu tidak hanya secara syariat saja, namun juga bagaimana seseorang itu bisa mengambil hikmah dan filosofi yang bisa ditangkap dari sebuah pembelajaran, dan Syeikh Jangkung merupakan satu dari sekian banyak pembelajaran yang bisa diambil sebagai ibroh. Ternyata benar juga Lirik syair tanpo waton, Sholawat Gus Dur “Duh bolo konco priyo wanito, Ojo mong ngaji Syare’at bloko, Gur pinter ndongeng, nulis lan moco, Tembe mburine bakal sengsoro”. Mudah-mudahan saya dan Anda, bisa belajar dari filosofi ngangsu dan menjadikan saya dan Anda sebagai orang-orang yang arif dan bijaksana, bisa mensikapi keadaan secara bijak, dan menjadikan setiap keadaan sebagai pembelajaran.

Sangatta, 13 Februari 2017

Penulis adalah Wakil Sekretaris NU Kutai Timur, Ketua LTN NU Kutai Timur, dan Wakil Ketua IGI Kutai Timur

0 comments